Valentine: Sebuah Penantian

14 Februari 2012

Aku begitu bersemangat pergi menuju kantor hari ini. Tanpa motor, kulangkahkan kaki menyusuri komplek perumahan untuk mencari kendaraan umum. Kawan, ternyata berjalan kaki menuju tempat kerja sangat menyenangkan dan menyehatkan. Kurasakan betul otot-otot kakiku mengencang, tanganku aktif bergerak, peluh di dahi menandakan keringat yang sehat, dan tentu saja lemak di bagian perut ikut terbakar walau sebenarnya aku tak punya masalah dengan berat badan ataupun turunannya.

Cuaca kali ini cerah, seperti biasa Bandung di pagi hari. Angkot yang kunaiki sangat rempong—kaca yang terbuka, mesin yang sudah uzur, dan sopir yang tak tahu sopan santun karena merokok sambil menyetir. Beberapa penumpang naik-turun. Mereka datang dan pergi seolah tak melihatku, seorang yang akan pergi kerja dengan penuh semangat dan optimisme, seorang yang berdedikasi dalam bekerja walau sering kena marah bos, seorang yang sedang dalam masa penantian.

Kau tahu, dua bulan yang lalu aku kena marah bos karena alasan yang tak masuk di akal: responku dalam mengendalikan komputer terlalu cepat dan kemampuanku dalam masalah klerikal sangatlah payah. Dalam pengendalian kekuatan komputer, kursor yang kuarahkan sangat cepat apalagi ketika harus melakukan presentasi di hadapan orang-orang Pertamina. Kecepatannya melampaui umur bosku—sama dengan kecepatan kuantum— yang berusia lima puluhan tahun. Ironi sebaliknya, bahwa aku tak terlalu teliti dalam urusan-urusan yang menuntut ketelitian adalah benar adanya. Bahwa Aku tak terlalu fokus pada detil. Mungkin Aku lebih menyukai ketidakmungkinan-ketidakmungkinan daripada kepastian. Mungkin aku lebih menyukai mimpi daripada kenyataan. Mungkin. Itulah mengapa aku suka orang-orang yang punya “mimpi”, mereka adalah orang-orang yang berani melampaui “kenyataan”.

Baiklah, sepertinya paragraf di atas khusus menunjukkan betapa dua kemampuan yang dimiliki olehku sangat bertolak belakang. Tapi tak usah dipikirkan kawan. Pernahkah kau tahu sebuah ungkapan yang mengatakan “kelemahan adalah kekuatan yang yang belum digunakan secara terarah”.

Penantian. Kau tahu rasanya menanti? Kata yang sedikit berbeda dari menunggu—atau bahkan mungkin keduanya memang berbeda. Penantian itu berhubungan dengan harapan, seorang yang mengharap menunggu orang lain yang memberi harapan. Penantian itu berhubungan dengan perasaan. Penantian itu berhubungan dengan sesuatu yang lama—dengan sedikit dramatis—dan berakhir dengan akhir yang manis.

Mungkin. Mungkin juga tidak.

Aku tak menantikan siapa-siapa bulan februari ini. Tak harus memberi coklat atau membeli mawar. Kalaupun harus, untuk (si)apa? Aku hanya sedang menanti sesuatu yang sudah kutunggu sekian lama—mungkin kamu juga. Penantian dua bulan ini belum juga berakhir. Kapan kau datang padaku, salary?

Gambar: http://www.jonice.web.id

4 thoughts on “Valentine: Sebuah Penantian

Leave a reply to erifsonjenando Cancel reply